Kamis, 08 November 2012

celengan joshua


Aku menatap bocah kecil yang duduk lesuh di dekat tiang lampu merah. Sedari tadi matanya melirik bocah laki-laki tersebut yang mengenakan kaos oblong, celana SD dan sepatu sekolah yang bermerek.

Wajahnya yang putih tertutupi debu dan keringat. Menit berikutnya bocah tersebut berdiri an turun ke bahu jalan. Dia mendekati sebuah mobil yang sedang berhenti di depan lallu lintas yang menyala merah. Detik berikutnya, dia mengulurkan tanggannya meminta uang. Namun kaca mobil tersebut tetap tertutup meski sudah diketuk berkali-kali oleh bocah tersebut.

Bocah tersebut melonggo kecewa ketika mobil mewah tersebut melaju meninggalkan segumpal debu dan kekecewaan bagi bocah tersebut.

Akhirnya koran yang seharian ini aku jual habis juga. Tidak seperti biasanya, hari ini tidak ada koran yang tersisa. Mungkin orang-orang pada penasaran dengan berita Nazarudin yang lagi hangat dibicarakan. Hari ini sebenarnya aku hanya membantu seorang teman jualan koran karena dia mendadak diare.

Aku melangkah menghampiri bocah tersebut yang masih menyisahkan raut kekecewaan di wajahnya. Dari dekat aku melihat bibirnya yang kering. Sepertinya dia haus.

Spontan aku menawarkan botol minumanku. Belum sempat dia menerimanya, terdengar teriakan “Satpol PP! Kabur!”

Dari kejauhan aku melihat segerombolan manusia berseragam berlari ke arahku. Tanpa suara aku langsung menyeret bocah tersebut untuk lari.

Bocah tersebut mengikuti langkah kakiku yang menuju gang kecil yang gelap. Kami baru berhenti ketika berada di depan pintu gubuk yang gelap. Aku mengatur nafasku yang masih ngos-ngosan. Sementara bocah tersebut langsung duduk di tanah. Dia benar-benar kelelahan. Sepertinya tidak ada lagi tenaga yang tersisa ditubuhnya.

“Masuk yuk!” ajakku setelah membuka pintu.

Dengan sisa tenaga dia melangkah masuk. Begitu melihat tikar, dia langsung merebahkan dirinya disana.

*****

“Nama koko siapa?” tanyanya keesokan paginya.

“Ko Dewantara! Panggil aja Ko Tara!”

“Bagusan Ko Dewa! Aku manggil koko dengan ko Dewa ya?”

Aku hanya tersenyum. Setelah menyantap sebungkus nasi uduk dan teh hangat, dia menjadi aktif.

“Namaku, Joshua!”

“Rumah kamu di mana?”

Dia menatapku.

“Joshua mau nyari mama di Jakarta. Aku naik kereta api dari Bogor. Aku ngga betah tinggal sama papa! Setiap hari dimarahin terus sama mama tiri.”

“Rumah mama kamu di mana? Ada alamatnya?”Atau nomor telponnya?”

Joshua menggelengkan kepalanya.

“Trus bagaimana mau cari mama kamu kalau begitu?”

Diam. Hening.

“Joshua cuma ingat kalau rumah mama dekat Citra Land Mal. Joshua masih ingat kok bentuk rumah mama.”

“Ya udah, nanti habis mandi koko bantu kamu cariin rumah mama kamu.”

Sebuah senyuman terukir manis dibibirnya.

*****
Sudah hampir dua jam menjelajah daerah Tanjung Duren dan sekitarnya namun belum juga menemukan rumah yang dimaksudkan Joshua.

“Capek?” tanyaku sambil mengelap keringat Joshua dengan tanganku.

Joshua hanya mengangguk lesu. Matanya menatapku dengan sayu.

“Joshua ngga ingat alamat rumah mama Joshua?”

Joshua menggeleng dengan putus asa dan penuh kelelahan.

*****

Aku benar-benar bingung mengurus seorang anak kecil. Selama dua hari Joshua tinggal di gubukku, Joshua selalu sakit. Mulai dari kepalanya yang pusing, perutnya yang mulas sampai badannya yang sakit.

Karena harus mencari uang aku terpaksa mengajak Joshua keliling menjajahkan jualanku. Uang yang tersisa disakuku hanya cukup untuk mebeli dua potong pisang goreng. Setelah sedikit memelas akhirnya si tukang pisang goreng memberi satu potong sebagai bonus. Ketiga potong pisang goreng tersebut sukses masuk ke dalam perut Joshua.

Aku hanya tersenyum ketika Joshua menawarkan pisang goreng kepadaku. Tapi aku sengaja menolak. Dia tidak boleh kelaparan.

Malamnya, Joshua bilang kalau badannya semuanya sakit. Aku memegang dahinya.

“Astaga!”

Aku panik dengan keadaan Joshua yang menahan sakit. Dengan pelan dari mulutnya “Tuhan Yesus, tolong Joshua.”

Tanpa berpikir dua kali, aku langsung menggendong tubuh munggil Joshua untuk ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, ada ketakutan yang menyelimutiku.

Bagaimana kalau Joshua meninggal? Bagaimana kalau aku dituduh menculik Joshua?

Tapi sungguh, aku tidak tega membiarkannya begitu saja. Meski baru beberapa hari mengenalnya, tapi kami sudah seperti kakak dan adik.

“Koko kenapa mau nemenin Joshua cari rumah mama? Trus mau kasih makan Joshua?” masih terngiang pertanyaan tersebut.

“Kita harus mengasihi sesama kita yang membutuhkan. Percuma jadi orang kaya punya banyak duit tapi ngga mau menolong orang yang membutuhkan. Toh, koko ngga jatuh miskin gara-gara nolong kamu dan koko ngga jadi kaya raya hanya karena menghemat.”

“Joshua sayang koko!” ucapnya lalu memelukku dengan erat.

“Koko juga sayang Joshua!” balasku sambil membalas pelukannya.

*****

“Harus segera dirawat,” kata dokter yang memeriksa Joshua.

“Penyakitnya apa, dok?”

“Demam berdarah!”

“Ya Tuhan!” Jeritku dalam hati. Joshua terkena demam berdarah!

“Trombositnya sudah sangat menurun. Kita harus menemukan darah yang cocok untuknya.” Ucap dokter muda tersebut.

“Darah saya saja, dok! Ambil saja berapa banyak yang dokter mau!” ucapku spontan dan gugup.

“Hallo!” sapa seorang suster ketika menghampiri ranjang Joshua terbaring.

“Namanya siapa?” tanya suster tersebut ke Joshua.

“Joshua!” jawab si empunya nama lemah.
Mimik wajah suster tersebut berubah.

“Joshua? Kamu anaknya Ibu Cecilia Sutejo kan?”

Joshua menggangukan kepalanya dengan lemah.

“Jadi dokter mengenal ibu Joshua?” tanyaku antara senang dan sedih. Senang karena ada juga yang mengenal orang tua Joshua. Namun itu artinya, aku harus berpisah dengan Joshua.

*****

Sebulan kemudian.

Keceriaan wajah Joshua berubah ketika melihat tubuhku yang kurus terbaring lemah di rumah sakit. Kini giliranku yang terbaring lemah seperti Joshua sebulan yang lalu.

Joshua melangkah menghampiriku ditemani ibunya.

“Koko Dewa!” ucap Joshua setengah berbisik di ujung kupingku.

Aku mencoba mengukir senyumanku.

“Joshua, sudah punya duit! Kata mama, sudah cukup buat beli lampu studio. Koko masih pengen punya studio fotokan?”

Air mataku meleleh ke pipi tak tertahankan lagi ketika melihat celengan Joshua dari ranselnya. Tabungannya buat membeli studio foto untukku. Diletakkannya dengan hati-hati di dekat tanganku.

“Ini buat koko! Buat beli studio foto. Koko kan pernah bilang, kita harus mengasihi sesama kita yang membutuhkan. Percuma jadi orang kaya punya banyak duit tapi ngga mau menolong orang yang membutuhkan.”

“Terima kasih ya, sayang! Koko sayang Joshua.”

“Koko juga pernah bilang, bukan seberapa besar yang bisa kita beri tapi seberapa besar hati kita saat memberi. Setiap Joshua nabung uang jajan aku. Biar koko bisa punya studio foto.”

Aku menggengam tangan Joshua.

Sungguh aku tidak takut dengan vonis dokter namun yang aku takutkan adalah ketika aku nanti pergi, Joshua pasti sedih.

“Josh, masih ingat lagu yang koko pernah ajarin?”

“Masih! Aku nyanyiin buat koko ya!”

Aku mengangguk lemah. Detik berikutnya suara merdu Joshua mengalun.


Bukan Dengan Kekuatanku
Ku Dapat Jalani Hidupku
Tanpa Tuhan Yang Di Sampingku
Ku Tak Mampu Sendiri
Engkaulah Kuatku
Yang Menopangku

Reff :
Kupandang Wajah-Mu Dan Berseru
Pertolonganku Datang Dari-Mu
Peganglah Tanganku, Jangan Lepaskan
Kaulah Harapan Dalam Hidupku

source:
Facebook : http://facebook.com/dewaklasik88
Twitter : http://twitter.com/#!/Dewa_Klasik (@Dewa_Klasik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar